PENDAHULUAN
Sebelum melangkah lebih jauh
membahas tentang pemikiran filsafat helenisme, tentunya akan lebih baik jika
kita memahami terlebih dahulu apa itu filsafat dan apa itu helenisme, agar
pembahasan ini dapat difahami secara sistematis dan secara kronologis.
Berbicara tentang filsafat,
sebenarnya kita sedang berbicara mencari hakikat sesuatu. Dan sesuatu inilah
yang pada akhirnya menjadi obyek pembahasan filsafat, yaitu hakikat Tuhan,
hakikat Manusia dan hakikat Alam. Diawali dari rasa ingin tahu akan
hakikat sesuatu, dan rasa ketidak pastian atau ragu-ragu, seseorang secara
terus menerus berfikir untuk mencari jawabannya. Maka upaya seseorang untuk
mencari hakikat inilah sebenarnya ia sedang berfilsafat. Dan upaya–upaya untuk
menyingkap hakekat segala sesuatu yang wujud, telah lama dilakukan oleh bangsa
Yunani. [1]
Filsafat
memiliki beberapa arti yang telah berkembang cukup banyak dari para filosof.
Dan ternyata kata filsafat ini telah muncul dan dikenal sejak zaman Yunani
Kuno. Ini menunjukan bahwa filsafat memang sudah ada dan berkembang pada bangsa
tersebut. Menurut catatan para sejarawan, orang yang pertama kali menggunakan
istilah filsafat adalah Pythagoras dari Yunani (582 – 496 SM). Pada waktu itu
arti filsafat belum begitu jelas. Kemudian arti filsafat itu diperjelas seperti
yang banyak dipakai sekarang ini. [2]
Salah satu
pendapat mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun
dari dua kata yaitu Philein yang berarti cinta dan Shopos yang
berarti hikmat, kebijaksanaan (wisdom). Akan tetapi orang Arab memindahkan kata
Yunani Philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikannya dengan tabiat
susunan kata-kata Arab, yaitu falsafa dengan fa`lala,
fa`lalatan dan fi`lal. Dengan demikian kata benda dari
kata kerja falsafa adalah falsafah dan filsaf, [3] yang memiliki arti hikmah. Hikmah menurut Ibnu Arabi
adalah proses pencarian hakikat sesuatu dan perbuatan. [4] Akan tetapi Ar-Raghib memberikan definisi yang lebih
simple, yaituashabtul haqi bil`ilmi wal aql (memperoleh kebenaran
dengan ilmu dan akal). [5]
Filosop
Yunani, seperti Plato misalnya memberikan definisi filsafat sebagai suatu
pengetahuan tentang segala sesuatu. Sedangkan Aritoteles beranggapan, bahwa
kewajiban filsafat ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan
demikian filsafat bersifat ilmu yang umum sekali. [6]
Yunani
adalah sebuah Negara di Eropa yang telah memiliki pemikiran peradaban yang maju
sejak berabad-abad tahun yang lalu (Yunani kuno). Istilah Helenisme adalah
istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang
berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make
Greek).Helenisme Klasik: Yaitu kebudayaan Yunani yang berkembang
pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Helenisme Secara Umum: Istilah yang
menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya
Asia Kecil, Syiria, Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua. Lama periode
ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (Masa Alexander Agung atau
Meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM (Berkembangnya Agama Kristen atau Jaman
Philo)
Jadi
pemikiran filsafat helenisme adalah filsafat Yunani untuk mencari hakikat
sesuatu atau sebuah pemikiran untuk mencari suatu kebenaran yang terjadi pada
masa Yunani kuno. Nah bagaimanakah pemikiran filsafat helenisme tersebut,
secara singkat akan dibahas di makalah ini.
FILSAFAT
HELENISME DAN ROMAWI
((Epicuros,
Zeno, Skeptis, Philon dan Neo Pythagoras))
Kita
mengkaji seputar sejarah filsafat Yunani, dari mulai Thales, Socrates sampai
Aristoteles.Sejarah filsafat Yunani sebagaimana pertumbuhan hidup manusia.
Masa kecilnya, menurut beliau, bermula dengan tampilnya Thales ke muka, Thales
melahirkan pandangan baru dalam alam pikiran Yunani. Masa ini berlanjut sampai
kepada Sokrates. Selanjutnya menuju ke masa gagah dan bijaksana (muda) ialah
masa filsafat klasik, yang puncaknya terdapat pada masa Aristoteles. Sesudah
masa Aristoteles berlalu, maka selanjutnya adalah masa tua. Masa tua itu
meliputi masa yang sangat lama sekali, dari tahun 322 sebelum Masehi sampai
tahun 529 setelah Masehi. Delapan setengah abad lamanya, dari meninggalnya
Aristoteles sampai ditutupnya sekolah filsafat yang penghabisan oleh Kaisar
Bizantin, Justinianus. Sesudah itu filsafat Yunani kembali ke dalam sejarah.
Pasca Aristoteles, Filsafat
Yunani mengalami penurunan yang signifikan. Pengkajian tentang filsafat tidak lagi semarak sebagaimana
terjadi pada masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan munculnya ilmu-ilmu
spesial yang berkembang dan berdiri sendiri. Seperti ilmu alam, gramatika, filologi, sejarah
kesusasteraan dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini menyebabkan ilmu filsafat tidak
lagi menjadi prioritas utama. Di samping itu, dalam fase ini filsafat juga
telah menyimpang dari asas pokoknya, yaitu dari akal ke arah mistik.
Peralihan filsafat Yunani menjadi
filsafat Helen-Romawi disebabkan terutama oleh seorang yang bernama Alexandros,
murid Aristoteles. Tindakannya yang imperialis menyatukan seluruh dunia Grik ke
dalam satu kerajaan Macedonia. Sesudah itu ia menaklukkan bangsa-bangsa di
Asia Minor dan mengembangkan kekuasaannya sampai ke India.
Semuanya itu dijadikan beberapa propinsi
kerajaanMacedonia. Bahkan Imperium Persia, kekaisaran terbesar yang pernah
disaksikan dunia, diremukkan lewat tiga pertempuran.
Keadaan demikian menyebabkan
filsafat Yunani bukan lagi murni produk asli Yunani, tetapi telah terpengaruh
oleh budaya bangsa lain. Adat istiadat kuno bangsa Babilonia, beserta takhayul
kuno mereka menjadi tak asing lagi bagi pemikiran orang Yunani, demikian pula
dualisme Zoroastrian dan agama-agamaIndia, pun membaur dengan pemikiran Yunani.
Dan pada akhirnya melihat kawasan yang ditaklukkan semakin luas, akhirnya
Alexandros memberlakukan kebijakan yang menganjurkan pembauran secara damai
antara bangsa Yunani dengan bangsa lainnya.
Pada era ini, orang berpaling
lagi kepada sistem metafisika yang bercorak keagamaan. Dengan bersatunya
beberapa bangsa yang dipimpin oleh kerajaan Roma, telah merampas hak-hak bangsa
lain yang ingin merdeka. Hal itu menimbulkan lagi pandangan keagamaan, memupuk
lagi hati manusia untuk hidup beragama. Tindakan bala tentara Roma yang keras
dan ganas dapat memperkuat rasa kemanusiaan, dan dipupuk pula oleh berbagai
macam agama lama, yaitu agama Kristen dan Budha. Maka pada saat itu, ajaran filsafat dan ajaran agama
kembali berkontaminasi.
Menurut
Bertrand Russell, pengaruh agama dan non Yunani terhadap dunia Hellenistis pada
dasarnya buruk, meski tak sepenuhnya demikian. Hal ini semestinya tak perlu
terjadi. Kaum Yahudi, Persia, dan Buddhis semuanya memiliki agama yang jauh
lebih unggul daripada politeisme rakyat Yunani, dan bahkan bisa dipelajari oleh
para filosof terbaik dengan hasil yang bermanfaat. Sayangnya, adalah bangsa
Babilonia, atau Chaldea, yang menananamkan pengaruh paling mendalam terhadap
imajinasi bangsa Yunani. Maka masa Hellen-Romawi adalah suatu fase filsafat
yang tidak hanya didominasi oleh filsafat asli Yunani. Akan tetapi filsafat
pada fase ini bisa dikatakan sebagai filsafat Trans Nasional.
Filsafat
Yunani pada masa Hellen-Romawi dalam garis besarnya dapat dibagi dua; masa etik
dan masa religi. Berikut penjelasannya
A. Zaman Patristik
Istilah Patristik berasal dari kata latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama kristen. Didunia Barat agama Khatolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggukanakan falsafat Yunani dan memperkembangkanya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang berhubungan dengan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat Tuhan. Yang terkenal Tertulianus (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430), yang sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei).. Berdasarkan ajaran Neo-Plaonisi da Stoa, ajarannya meliputi pengetahuan, tata dalam alam. Bukti adanya Tuhan, tentang manusia, jiwa, etika, masyarakat dan sejarah.[1]
Periode ini ditandai dengan oleh Bapak-bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet[2]dan para pengarang Gereja. Para Apologet memiliki tugas utama menjawabi berbagai persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran iman Gereja terhadap berbagai ajaran atau paham-paham filosofis yang mengancam ajaran keimanan yang benar. Para pengarang Gereja adalah orang-orang yang menulis buku dan karangan-karangan tentang berbagai ajaran Gereja secara menyeluruh dan mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Mereka-mereka itu adalah Clemens dari Alexandria (150-219 M) dan Origenes (185-254 M). Kemudian tampil juga para pujangga Gereja (325-500 M) yang membaktikan jasa mereka bagi Gereja dan ajaran Kristen. Satu Athanasius, Gregorius dan Naziaza, Basilius, Gregorius dari Nyssa, dan Sirilus dari Alexandria adalah para pujangga Gereja dari tradisi Yunani dan menggunakan Bahasa Yunani, sedangkan Ambrosius dan Agustinus termasuk dalam tradisi Latin yang menggunakan bahasa Latin. Ajaran-ajaran mereka, terutama ajaran Agustinus, berkembang sangat luas dan sangat berpengaruh dalam diri para filosuf abad pertengahan. Masa Agustinus (354-430 M) sampai ca. 1000 M dikeal dalam sejarah filsafat sebagai periode transisi, da para filsuf yang terkelompok dalam periode ini adalah Agustinus sendiri, Boethius (480-525 M) dan John Scotus Eriugena (lahir ca. 800 M).[3]
B. Kedudukan Filsafat Pada Zaman Patristik
Filsafat pada zaman ini berlangsung pada abad pertengahan tepatnya pada tahun 100-700[5]. Namun, pada sumber lain ada juga yang menyebutkan bahwa Filsafat Abad Pertengahan dimulai sejak Plotinus. Pada Plotinus (lahir 204 M).[4] Karena filsafat ini berlangsung pada Abad pertengahan maka sangat erat kaitannya dengan filsafat pada abad pertengahan terutama terhadap tokoh-tokoh filsafat pada abad pertengahan yakni Tertalius (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430).
Dunia Barat agama Khatolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, beserta etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkannya maka mereka menggunakan Filsafat Yunani dan memperkembangkannya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal tentang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat tentang Tuhan.[5]
Akal pada Abad Pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu kelihatan jelas pada Filsafat Plotinus., Agustinus, Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, dan kerena itu filsafatnya mendapat kritikan. Sebagaimana telah dikatakan, Abad Pertengahan merupakan dominasi akal yang hamper seratus persen pada Zaman Yunani sebelumnya, terutama pada Zaman Sofis.
Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan bukan untuk dipahami melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu tujuan dari filsafat adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci, pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting; mempelajarinya merupakan usaha mubadzir, menghabiskan waktu secara sia-sia. Karena Simplicius salah seorang pemikir zaman Plotinus, telah menutup sama sekaliruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak. Karena iman harus menang mutlak orang-orang yang masiih menghidupkan filsafat (akanl) harus dimusuhi. Maka pada Tahun 415 Hypatia, seorang yang terpelajar ahli filsafat pada zaman Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 Kaisar Justianus mengeluarkan Undang-Undang yang melarang Filsafat.
Agustinus mengganti akal dengan iman; potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kauasa Allah. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu relatif. Kebenaran itu mutlak yaitu ajaran agama. Moral berpuncak pada dosa Adam, kehidupan pertapa adalah kehidupan terbaik. Hati memerlukan kehidupan demikian. Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukum alam adalah mubadzir, memboroskan waktu. Ia berkutat bahwa bumi adalah pusat jagat raya. Intelektualisme tidak penting, yang penting adalah cintakepada Tuhan. Tidak perlu dipikir, tanya dati Anda, siap pencipta alam ini. Untuk itu hati bersih, harus hidup. Mka kehidupan berbujang adalah kehidupan terpuji. Manusia dilarang mempelajari Astronomi. Mempelajari Anatomi memnjadikan manusia materialistis. Filsafat dan Sains jangan disentuh. Akal mati, hati menang.
Ciri khas Filsafat Abad pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus, yaitu Credo Ut Intelligam, yang berarti iman terlebih dfahulu setelah itu mengerti. Imanilah terlebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argumen utnuk memahaminya. Mungkin juga utnuk meneguhkan keimanan itu. Didalam pengertian itu tersimpalah pengertian bahwa seseoang tidak boleh mengerti atau paham terlebih dahulu, dan karena memahaminya lantas ia mengimaninya. Ini iman secara rasional. Dalam undkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu hahrus diimaninya, malainkan orang mengerti kalau ia mengimaninya.
Sifat ini berlawanan dengan sifat Filsafat Rasional. Dalam Filsafat Rasioanl pengertian itulah yang didahulukan; setelah dia mengerti barulah mungkin ia diterima dan kalau mau diimani. Mengikuti inilah maka Filsafat Abad Pertengahan terletak pada ungkapan itu. Apakah kaidah ini (iman agar mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dianggap umum? Jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat dikemukakan adalah bahwa kaidah ini kurang dianut, juga dalam Filsafat Islam. Contoh yang menonjol dalam Filsafat Islam adalah Al-Ghazali. Didalam perbandingan ini kita seakan menemukan keganjilan. Mengapa penerapak kaidah itu dalam Kristen menimbulkan akibat Sains dan Filsafat terhadap perkembangannya, tetapi penerapak rumus ini dalam perkembangan pemikiran Islam tidak menyebabkan tersendatnya perkembangan filsafat dan sains dalam Islam.
Kelihatannya Filsafat Credo Ut Intelligem itu tidak merugikan perkembangan Filsafat dan Sains seandanya wahtu yang dijadikan andalan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal logis. Hal iini kita temukan misalnya dalam Islam. Filsafat didalam Islam berkembang amatpesat karena keyakinan Islam tidak ada yang berlawanan dengan akal logis; yang ada adalah bagian-bagaian yang berada didaerah Supralogis dan Suprarasional.
Sains, Filsafat dan iman (rasa) sebenarnya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia. Akan tetapi pembatasan daerah kerja (kapling)nya masih harus jelas. Sains bekerja pada objek-objek sensasi, Filsafat pada objek-objek abstrak logis, sedangkan hati (rasa) bekerja pada daerah-daerah Supralogis. Yang ini sesugguhnya telah disebut oleh Bonaventura. Menurut pendapatnya manusia memiliki tiga potensi (kmampuan): indera, akal dan kontemplasi. Hasil kerja masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan, tetapi boleh tidak sama. Tidak sama itu bukan berlawanan. Kekurang jelasan perbatasan daerah inilah yang sering terjadinya bentrokan antara sains, filsafat, dan iman.
Kelemahan lain dalam Filsafat Kristen pada Abad Pertengahan itu adalah sifatnya yang terlaluyakin terhadap penafsiran teks kitab suci. Penafsiran sebanarnya tidak lebihberarti daripada sekedar filsafat juga. Jadi penafsiran pada dasarnya bersifat relatif kebenarannya, tidak absolut. Karena filosof pada zaman itu rata-rata menjabat sebagai orang suci (Saint), makafilsafat mereka menempati pengertian agama yang absolut dalam dirinya. Iinilah barangkali yang menjadikan tekanan-tekanan psikoloogis maupun fisis terhadap tokoh lain yang pemikirannya berbeda dengan pemikiran Filosof Gereja. Pada Abad Pertengahan itu Agama Kristen boleh dikatakan bukan lagi kitab suci, malainkan penafsiran kitab suci oleh paraSaint tersebut. Berbedanya pemikiran Copernicus dengan Galileo dengan pemikira tokoh-tokoh Gerejatelah menyebabkan kedua tokoh tersebut dihukum. Sebenarnya pendapat kedua ilmuwan tersebut tidak berlawanan dengan kitab Suci, melainkan berbeda dengan pendapat Tokoh Gereja yang mengatasnamakan Kitab Suci, berarti Kitab Suci itu salah karena bukti-bukti menunjukkan bahwa kedua Ilmuwan itulah yang benar.
Uraian tadi manunjukka bahwa pada Abad Pertengahan ini, iman (hati) benar-benar telah menang melawan akal dan berhasil mendominasi jalan hidup Abad Pertengahan (diBarat). Akibat-akibatnya amat mudah dipahami; filsafat dan sains berhenti; jangankan menemukan yang baru, menjaga warisan Yunani ini saja tidak mampu.
Abad Pertengahan melahirkan juga filosof yang lumayan, yaitu Thomas Aquinas. Ia lahir pada masa-masa menjelang habisnya kekuatan agama Kristen mempengaruhi jalan pemikiran. Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah berkurang. Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan Filsafat Rasionalnya. Yang terkenal adalah beberapa pembuktian adanya Tuhan yang masih dipelajari orang hinga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh ketika itu.[6]
C. Tokoh-Tokoh Filsafat Pada Zaman Patristik dan Peranannya
1. Augustinus (354-430)
Augustinus mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah filsafat. Mungkin penamaan Abad Agustinus (The Age of Agustine) seperti yang telah ditulis oleh Mayer dalam bukunya disebabkan oleh Augustinus telah meletakkan dasar-dasar bagi pemikiran Abad Pertengahan mengadaptasikan Platonisme dengan idea-idea Kristen. Ia memberikan formulasi yang sistematis tentang Filsafat Kristen, suatu filsafat yang dominan terhadap Khatolik dan Protestan.
Stuart Hampshire dalam introduksi bukunya, The Age of Reason, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kegiata pikir manusia yang bersinambung. Pikiran seorang tokoh pada masa tertentu baru jelas dipahami setelah melihat hubungannya dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kalau demikian, maka beberapa pemikir sebelum Augustinus perlu dibicarakan terlebih dulu. Mungkin saja pemikir iru merupakan latar belakang pemikiran Augustinus.
Augustinus lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria). Pada 13 Nopember 354. Tatkala berumur sebelas tahun ia dikirim kesekolah Madaurus. Lingkungan itu telah mempengaruhi perkembangan moral dan agamanya. Tahun 369-370 dihabiskannya dirumah sebagai penganggur, tetapi suatu bacaan tentang Cicero pada bukunya Hortensius, telah membimbingnya kefilsafat.
Pada Tahun 388 ia mengabdikan seluruh dirinya kepada Tuhan dan melayani pengikut-pengikutnya, kemudian ia menjual seluruh warisan dan uang hasil penjualannya tersebut dikasihkan kepada fakir-miskin. Pada tahun 395-396 ia ditahbiskan menjadi seorang Uskup di Hippo. Tahun terakhir hidup-hidupnya adalah tahun-tahun peperangan bagi imperium Romawi. Pada bulan 28 Agustus 430 ia meninggal dunia dalam kesucian dan kemiskinan yang memang sudah lama dijalaninya.
Filsafat Augustinus merupakan sumber atau reformasi yang dilakukan oleh Protestan, khususnya kepada Luther, Zwingli, dan Calvin. Kutukannya kepada seks, pujianya kepada kehidupa pertapa, pandangannya tentang dosa asal, semuanya ini merupakan faktor yang memberikan kondisi untuk wujud pandangan-pandangan Abad Pertengahan.
Filsafatnya tentang sejarah berpengaruh terhadap gerakan-gerakan agama dan pada pemikiran sekular. Dalam pertarungan berbagai ideologi politik sekarang, ada kesamaan dalam keabsolutan, dalam dogmatisme, dan juga dalam fanatisme. Paham toesentris pada Augustinus menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang Barat. Anggapannya yang meremehkan kepentingan duniawi, kebenciannya terhadap teori-teori kealaman, imannya kepada Tuhan tetap merupakan bagaian peradaban modern. Sejak zaman Augustinuslah orang Barat lebih memiliki sifat introspektif.
Karta Augustinus yang paling berpengaruh adalah The City of God. Karya itu muncul disebabkan oleh adanya perampasan Roma oelh pasukan Alarik. Kejadian ini memiliki konsekuensi yang besar. Banyak orang Roma menganggap bahwa perampasan itu terjadi karena ketidak patuhan orang-orang Roma kepada Dewa-dewa lama dan penerimaan mereka terhadap agama Kristen. Mereka juga ragu apakah tidak salah pilih dengan agama Kristen. Karena banyak yang meilih agama Kristen kemudian melakukan praktek kafir, sebagian lain menjadi orang yang ragu karena merasa Tuhan yang mereka semabah tidak mempunyai kekuatan atas alam semsta ini. Untuk menjawab masalah itu Augustinus menulis The City of God. Buku itu berisi tidak hanya penolakan atas keraguan yang tersebar ketika itu, tetapi juga mengetengahkan suatu sejarah filsafat yang sistematis yang menarik perhatian orang-orang pada Abad Keduapuluh sekarang.
Augustinus tidak mempercayai bahwa sejarah adalah suatu siklus sejarah lebih dari itu; ia merupakan kejadian yang diatur oleh Tuhan. Jadi sebenarnya sejarah juga mempunyai suatu permulaan dan suatu akhir. Permualaannya adalah saat kejatuhan manusia, dan akhirnya adalah kemenangan Tuhan mengatasi kejahatan. Filsafat sejarah seperti ini adalah Dilsafat Sejarah dibimbing oleh Toelogi. Sejarah tidak dapat dijelaskan dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, sejarah dapat dipahami melaluihukum-hukum Tuhan.
Buku The City of God dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama yaitujilid 1-10 membicarakan tanggungjawab Kristen terhadap perpecahan Romawi, sifat-sifat imperialistis, tidak pernahnya Romawi memperhatikan masyarakat taklukannya. Bagian kedua yaitu jilid 11-12 membicarakan asal-usul manusia, dunia Tyhan dan dunia Setan.
Mengenai siksa neraka Augustinus mengatakan bahwa ia bersifat kekal. Origen berpendapat bahwa orang, bagaimanapun jeleknya, tidak akan kekal dineraka, Augustinus menolak pendapat ini. Kalau pendapat Origen benar, mengapa tidak berlaku bagi Setan? Demikian kata Augustinus.
2. Anselmus (1033-1109)
Dalam membicarakan Filsafat Abad Pertengahan St. Anselmus tidak dapat dilewatkan begitu saja. Tokoh inilah yang mengeluarkan Credo Ut Intelligam yang dapat dianggap merupakan cirri utama Filsafat pada Abad Pertengahan. Ia berasal dari Bangsawan di Aosta, Italia. Seluruh kehidupannya penuhi oleh kepatuhannya kepada Gereja. Tahun 1093 ia menjadi Uskup Agung Canterbury. Dalam dirinya mengalir arus Mistisime, dan iman merupakan masalah utama baginya. Ada tiga karyanya yaitu Monologium yang membicarakan keadaan Tuhan, Proslogium yang berisi tentang dalil-dalil adanya Tuhan, dan Cur Deus Homo yang berisi ajarannya tentang tobat dan petunjuk mengenai penyelamatan melalui Kristus.
Credo Ut Intelligam menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman daripada akal. Arti ungkapan itu adalah Percaya baru mengerti; secara lebih sederhana percayalah telebih dahulu supaya mengerti. Ia mengatakan bahwa wahyu diterima terlebih dahulu sebelum kita mulai berfikir. Jadi akal hanyalah sebagai pembantu wahyu. Pengaruh Plato besar terhadap pemikirannya.
Ia berpendapat semua makhluk memiliki sejumlah kebaikan itu menunjukkan adanya kebaikan Mahatinggi yang disana semua makhluk berpartisipasi. Tuhan itu kebesarannya tidak terpikirkan (kebesarannya Mahabesar). Itu tidak mungkin hanya ada dalam pikiran. Ia juga ada dalam kenyataan (jadi benar-benar diluar pikiran). Tuhan Mahabesar ada dalam pikiran dan ada juga diluar pikiran. Secara kasar argument ini mengajarkan bahwa apa yang dipikirkan, berarti objek ini benar-benar ada tidak mungkin ada sesuatu yang hanya ada didalam pikiran, tetapi diluar pikiran objek itu tidak ada.
Tentang penyelamatan, ajarannya sama dengan Filsuf Abad Pertengahan lainnya:manusia celaka karena jatuhnya Adam, jatuhnya Adam memang karena dikehendaki oleh Tuhan, penyelamatan hanya diperoleh melalui Kristus.
3. Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Ia lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dari keluarga Bangsawan baik Bapakanya maupun Ibunya. Melalui Gurunya, Albertinus Magnus, Aquinas belajar tentang alam, ia berfilsafat lebih empiris daripada orang-orang yang diikutinya. Dikatakan demikian karena ia lebih banyak menggunakan observasi terhadap alam dalam menopang argument-argumennya. Sekalipun demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa Aquinas menganggap bahwa penjelasan Naturalis lebih tinggi dari pada atau setingkat dengan penjelasan Metafisika. Dalam hal Kosmologi ia masih menganut Hipotesis Geosentris.[7]
Dalam seluruh teorinya mengenai pengetahuan, Aquinas dibimbing oleh pandangannya bahwa pikir (reson)dan iman adalah tidak bertentangan. Akan tetapi, dimana batas kedua-duanya? Menurut pendapatnya, semua objek yang tidak dapat diindera tidak akan dapat diketahui secara pasti oleh akal. Oleh karena itu, kebenaran ajaran Tuhan tidak mungkin dapat diketahui dan diukur dengan akal. Kebenaran ajaran Tuhan diterima dengan iman. Sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal adalah objek iman. Pengetahuan yang diterima atas dasar iman tidaklah lebih rendah daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Paling tidak, kebenaran yang diterima oleh akal tidak akan bertentangan dengan ajaran wahyu.
Selanjutnya Aquinas mengajarkan seharusnya kita menyeimbangkan akal dan iman, akal membantu membangun dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu tidak selalu dapat dilakukan karena kanl terbatas. Akal tidak dapat memberikan penjelasan tentang kehidupan kembali (resurrection) dan penebusan dosa. Akal juga tidak mampu membuktikan kenyataan esensisal tentang keimanan Kristen. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana telah disebutkan dalam firman-firman Tuhan.
Berdasarkan uraian itu kita dapat mengetahui adanya dua jalur pengetahuan dalam filsafat Aquinas. Jalur itu ialah jalur akal yang dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan. Dan yang kedua adalah jalur Tuhan ialah jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung oleh akal.
Aquinas membagi pengetahuan menjadi tiga bagian pengetahua Fisika, Matematika, dan Metafisika. Dari yang tiga Metafisika inilah yang mendapat banyak perhatian darinya. Menurut pendapatnya dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi. Sehunbungan dengan teorinya diatas maka didalam filsafat Aquinas filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat penggunaan akal. Filsafat ditentukan oelh penjelasan sistematis akliah, sedangkan agama ditentukan oleh keimanan. Sekalipun demikian, perbedaan itu tidak terlihat begitu jelas karena pengetahuan adalah gabungan dari kedua-duanya. Agama dapat pula dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah agama natural yang dibentangkan diatas akal, dan yang kedua adalah agama wahyu yang dibentangkan diatas iman.
Didalam doktrinnya tentang pengetahuan Aquinas adalah realis Moderat. Ia tidak sependapat dengan Plato yang mengajarkan bahwa alam semesta ini menpunyai eksistensi yang objektif. Ia mengajarkan bahwa alam semesta ini berada dalam tiga cara:pertama sebagai sebab-sebab didalam pemikiran Tuhan; kedua sebagai idea dalam pemikiran manusia; dan ketiga sebagai esensi sesuatu. Dapat dicatat disini bahwa Aquinas mencoba mennjebatani dua ekstrimitas. Ekstrimitas Nominalisme dan Ekstriminitas Realisme. Nominalisme adalah suatu ajaran dalam Filsafat Skolastik yang menyatakan bahwa tidak ada eksistensi bastrka yang sungguh-sungguh objektif; yang ada hanyalah kata-kata dan nama-nama; yang benar-benart real adalah fisik yang particular ini saja. Realisme adalah suatu ajaran dalam filsafa tyang mengatakan bahwa realitas Universal abstrak sama dengan atau lebih tinggi dari realitas.
Aquinas melakukan harmonisasi antara kedua ekstrem itu cara memperhatikan bahwa alam semesta mempunyai berbagai pengertian bila diterapkan pada Tuhan, manusia, dan alam. Sains menurutnya, berkenaan dengan alam jenis ketiga; yaitu alam sebagai esensi. Konsep-konsep sains tidak a priori sebab manusia dilahirkan tidak membawa idea-idea immaterial. Menurut pendapat Aquinas pikiran tidak akan berisi apa-apa apabila tidak menggunakan indera. Proses pengetahuan dimalai dari adanya penginderaan yang memberikan kepada kita presepsi tentang objek didalam alam. Persoalan yang dihadapkan kepada Aquinas adalah bagaiamana presepsi ini diterjemahkan kedalam idea-idea yang dapat dipikirkan. Untuk menyelesaikan masalah ini Aquinas menggunakan istilah intelek aktif yang bertugas mengabstraksikakn unsure-unsur dalam alam semesta lalau menciptakan jenis-jenis yang dapat dipikirkan. Intelek aktif itulah yang memberikan kepada kita keadaan susunan alam semesta. Melalui intelek aktif itu kita dapat memahami prinsip-prinsip pertama yang mengatur semua kenyataan.
Pengalaman menurut Aquinas bukanlah suatu proses yang kacau pengalaman menyatakan prinsip-prinsip universal tentang eksistensi, kualitas-kualitas particular tidaklah terpisah-pisah; mereka mempunyai kualitas esensial dalam keseluruhan. Tugas sainslah untuk mengklasifikasikan dan menguraikan kualitas-kualaitas itu.
Kalau dibandingkan dengan pandangan modern tentang sains, teori Aquinas sangat berbeda. Menurut pendapat sains Modern pencapaian terbaik dalam sains adalah bila ia lebih menjurus kepada objek-objek yang particular. Sains modern tidak memberikan penghargaan yang tinggi kepada masalah-masalah immaterial.Bagian immaterial itu merupakan bagian pembahasan metafisika. Sedangkan pada Aquinas tadi, sains akan semakin tinggi nilainya bila ia semakin universal.
Istilah Patristik berasal dari kata latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama kristen. Didunia Barat agama Khatolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggukanakan falsafat Yunani dan memperkembangkanya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang berhubungan dengan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat Tuhan. Yang terkenal Tertulianus (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430), yang sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei).. Berdasarkan ajaran Neo-Plaonisi da Stoa, ajarannya meliputi pengetahuan, tata dalam alam. Bukti adanya Tuhan, tentang manusia, jiwa, etika, masyarakat dan sejarah.[1]
Periode ini ditandai dengan oleh Bapak-bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet[2]dan para pengarang Gereja. Para Apologet memiliki tugas utama menjawabi berbagai persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran iman Gereja terhadap berbagai ajaran atau paham-paham filosofis yang mengancam ajaran keimanan yang benar. Para pengarang Gereja adalah orang-orang yang menulis buku dan karangan-karangan tentang berbagai ajaran Gereja secara menyeluruh dan mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Mereka-mereka itu adalah Clemens dari Alexandria (150-219 M) dan Origenes (185-254 M). Kemudian tampil juga para pujangga Gereja (325-500 M) yang membaktikan jasa mereka bagi Gereja dan ajaran Kristen. Satu Athanasius, Gregorius dan Naziaza, Basilius, Gregorius dari Nyssa, dan Sirilus dari Alexandria adalah para pujangga Gereja dari tradisi Yunani dan menggunakan Bahasa Yunani, sedangkan Ambrosius dan Agustinus termasuk dalam tradisi Latin yang menggunakan bahasa Latin. Ajaran-ajaran mereka, terutama ajaran Agustinus, berkembang sangat luas dan sangat berpengaruh dalam diri para filosuf abad pertengahan. Masa Agustinus (354-430 M) sampai ca. 1000 M dikeal dalam sejarah filsafat sebagai periode transisi, da para filsuf yang terkelompok dalam periode ini adalah Agustinus sendiri, Boethius (480-525 M) dan John Scotus Eriugena (lahir ca. 800 M).[3]
B. Kedudukan Filsafat Pada Zaman Patristik
Filsafat pada zaman ini berlangsung pada abad pertengahan tepatnya pada tahun 100-700[5]. Namun, pada sumber lain ada juga yang menyebutkan bahwa Filsafat Abad Pertengahan dimulai sejak Plotinus. Pada Plotinus (lahir 204 M).[4] Karena filsafat ini berlangsung pada Abad pertengahan maka sangat erat kaitannya dengan filsafat pada abad pertengahan terutama terhadap tokoh-tokoh filsafat pada abad pertengahan yakni Tertalius (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430).
Dunia Barat agama Khatolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, beserta etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkannya maka mereka menggunakan Filsafat Yunani dan memperkembangkannya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal tentang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat tentang Tuhan.[5]
Akal pada Abad Pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu kelihatan jelas pada Filsafat Plotinus., Agustinus, Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, dan kerena itu filsafatnya mendapat kritikan. Sebagaimana telah dikatakan, Abad Pertengahan merupakan dominasi akal yang hamper seratus persen pada Zaman Yunani sebelumnya, terutama pada Zaman Sofis.
Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan bukan untuk dipahami melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu tujuan dari filsafat adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci, pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting; mempelajarinya merupakan usaha mubadzir, menghabiskan waktu secara sia-sia. Karena Simplicius salah seorang pemikir zaman Plotinus, telah menutup sama sekaliruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak. Karena iman harus menang mutlak orang-orang yang masiih menghidupkan filsafat (akanl) harus dimusuhi. Maka pada Tahun 415 Hypatia, seorang yang terpelajar ahli filsafat pada zaman Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 Kaisar Justianus mengeluarkan Undang-Undang yang melarang Filsafat.
Agustinus mengganti akal dengan iman; potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kauasa Allah. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu relatif. Kebenaran itu mutlak yaitu ajaran agama. Moral berpuncak pada dosa Adam, kehidupan pertapa adalah kehidupan terbaik. Hati memerlukan kehidupan demikian. Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukum alam adalah mubadzir, memboroskan waktu. Ia berkutat bahwa bumi adalah pusat jagat raya. Intelektualisme tidak penting, yang penting adalah cintakepada Tuhan. Tidak perlu dipikir, tanya dati Anda, siap pencipta alam ini. Untuk itu hati bersih, harus hidup. Mka kehidupan berbujang adalah kehidupan terpuji. Manusia dilarang mempelajari Astronomi. Mempelajari Anatomi memnjadikan manusia materialistis. Filsafat dan Sains jangan disentuh. Akal mati, hati menang.
Ciri khas Filsafat Abad pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus, yaitu Credo Ut Intelligam, yang berarti iman terlebih dfahulu setelah itu mengerti. Imanilah terlebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argumen utnuk memahaminya. Mungkin juga utnuk meneguhkan keimanan itu. Didalam pengertian itu tersimpalah pengertian bahwa seseoang tidak boleh mengerti atau paham terlebih dahulu, dan karena memahaminya lantas ia mengimaninya. Ini iman secara rasional. Dalam undkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu hahrus diimaninya, malainkan orang mengerti kalau ia mengimaninya.
Sifat ini berlawanan dengan sifat Filsafat Rasional. Dalam Filsafat Rasioanl pengertian itulah yang didahulukan; setelah dia mengerti barulah mungkin ia diterima dan kalau mau diimani. Mengikuti inilah maka Filsafat Abad Pertengahan terletak pada ungkapan itu. Apakah kaidah ini (iman agar mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dianggap umum? Jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat dikemukakan adalah bahwa kaidah ini kurang dianut, juga dalam Filsafat Islam. Contoh yang menonjol dalam Filsafat Islam adalah Al-Ghazali. Didalam perbandingan ini kita seakan menemukan keganjilan. Mengapa penerapak kaidah itu dalam Kristen menimbulkan akibat Sains dan Filsafat terhadap perkembangannya, tetapi penerapak rumus ini dalam perkembangan pemikiran Islam tidak menyebabkan tersendatnya perkembangan filsafat dan sains dalam Islam.
Kelihatannya Filsafat Credo Ut Intelligem itu tidak merugikan perkembangan Filsafat dan Sains seandanya wahtu yang dijadikan andalan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal logis. Hal iini kita temukan misalnya dalam Islam. Filsafat didalam Islam berkembang amatpesat karena keyakinan Islam tidak ada yang berlawanan dengan akal logis; yang ada adalah bagian-bagaian yang berada didaerah Supralogis dan Suprarasional.
Sains, Filsafat dan iman (rasa) sebenarnya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia. Akan tetapi pembatasan daerah kerja (kapling)nya masih harus jelas. Sains bekerja pada objek-objek sensasi, Filsafat pada objek-objek abstrak logis, sedangkan hati (rasa) bekerja pada daerah-daerah Supralogis. Yang ini sesugguhnya telah disebut oleh Bonaventura. Menurut pendapatnya manusia memiliki tiga potensi (kmampuan): indera, akal dan kontemplasi. Hasil kerja masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan, tetapi boleh tidak sama. Tidak sama itu bukan berlawanan. Kekurang jelasan perbatasan daerah inilah yang sering terjadinya bentrokan antara sains, filsafat, dan iman.
Kelemahan lain dalam Filsafat Kristen pada Abad Pertengahan itu adalah sifatnya yang terlaluyakin terhadap penafsiran teks kitab suci. Penafsiran sebanarnya tidak lebihberarti daripada sekedar filsafat juga. Jadi penafsiran pada dasarnya bersifat relatif kebenarannya, tidak absolut. Karena filosof pada zaman itu rata-rata menjabat sebagai orang suci (Saint), makafilsafat mereka menempati pengertian agama yang absolut dalam dirinya. Iinilah barangkali yang menjadikan tekanan-tekanan psikoloogis maupun fisis terhadap tokoh lain yang pemikirannya berbeda dengan pemikiran Filosof Gereja. Pada Abad Pertengahan itu Agama Kristen boleh dikatakan bukan lagi kitab suci, malainkan penafsiran kitab suci oleh paraSaint tersebut. Berbedanya pemikiran Copernicus dengan Galileo dengan pemikira tokoh-tokoh Gerejatelah menyebabkan kedua tokoh tersebut dihukum. Sebenarnya pendapat kedua ilmuwan tersebut tidak berlawanan dengan kitab Suci, melainkan berbeda dengan pendapat Tokoh Gereja yang mengatasnamakan Kitab Suci, berarti Kitab Suci itu salah karena bukti-bukti menunjukkan bahwa kedua Ilmuwan itulah yang benar.
Uraian tadi manunjukka bahwa pada Abad Pertengahan ini, iman (hati) benar-benar telah menang melawan akal dan berhasil mendominasi jalan hidup Abad Pertengahan (diBarat). Akibat-akibatnya amat mudah dipahami; filsafat dan sains berhenti; jangankan menemukan yang baru, menjaga warisan Yunani ini saja tidak mampu.
Abad Pertengahan melahirkan juga filosof yang lumayan, yaitu Thomas Aquinas. Ia lahir pada masa-masa menjelang habisnya kekuatan agama Kristen mempengaruhi jalan pemikiran. Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah berkurang. Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan Filsafat Rasionalnya. Yang terkenal adalah beberapa pembuktian adanya Tuhan yang masih dipelajari orang hinga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh ketika itu.[6]
C. Tokoh-Tokoh Filsafat Pada Zaman Patristik dan Peranannya
1. Augustinus (354-430)
Augustinus mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah filsafat. Mungkin penamaan Abad Agustinus (The Age of Agustine) seperti yang telah ditulis oleh Mayer dalam bukunya disebabkan oleh Augustinus telah meletakkan dasar-dasar bagi pemikiran Abad Pertengahan mengadaptasikan Platonisme dengan idea-idea Kristen. Ia memberikan formulasi yang sistematis tentang Filsafat Kristen, suatu filsafat yang dominan terhadap Khatolik dan Protestan.
Stuart Hampshire dalam introduksi bukunya, The Age of Reason, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kegiata pikir manusia yang bersinambung. Pikiran seorang tokoh pada masa tertentu baru jelas dipahami setelah melihat hubungannya dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kalau demikian, maka beberapa pemikir sebelum Augustinus perlu dibicarakan terlebih dulu. Mungkin saja pemikir iru merupakan latar belakang pemikiran Augustinus.
Augustinus lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria). Pada 13 Nopember 354. Tatkala berumur sebelas tahun ia dikirim kesekolah Madaurus. Lingkungan itu telah mempengaruhi perkembangan moral dan agamanya. Tahun 369-370 dihabiskannya dirumah sebagai penganggur, tetapi suatu bacaan tentang Cicero pada bukunya Hortensius, telah membimbingnya kefilsafat.
Pada Tahun 388 ia mengabdikan seluruh dirinya kepada Tuhan dan melayani pengikut-pengikutnya, kemudian ia menjual seluruh warisan dan uang hasil penjualannya tersebut dikasihkan kepada fakir-miskin. Pada tahun 395-396 ia ditahbiskan menjadi seorang Uskup di Hippo. Tahun terakhir hidup-hidupnya adalah tahun-tahun peperangan bagi imperium Romawi. Pada bulan 28 Agustus 430 ia meninggal dunia dalam kesucian dan kemiskinan yang memang sudah lama dijalaninya.
Filsafat Augustinus merupakan sumber atau reformasi yang dilakukan oleh Protestan, khususnya kepada Luther, Zwingli, dan Calvin. Kutukannya kepada seks, pujianya kepada kehidupa pertapa, pandangannya tentang dosa asal, semuanya ini merupakan faktor yang memberikan kondisi untuk wujud pandangan-pandangan Abad Pertengahan.
Filsafatnya tentang sejarah berpengaruh terhadap gerakan-gerakan agama dan pada pemikiran sekular. Dalam pertarungan berbagai ideologi politik sekarang, ada kesamaan dalam keabsolutan, dalam dogmatisme, dan juga dalam fanatisme. Paham toesentris pada Augustinus menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang Barat. Anggapannya yang meremehkan kepentingan duniawi, kebenciannya terhadap teori-teori kealaman, imannya kepada Tuhan tetap merupakan bagaian peradaban modern. Sejak zaman Augustinuslah orang Barat lebih memiliki sifat introspektif.
Karta Augustinus yang paling berpengaruh adalah The City of God. Karya itu muncul disebabkan oleh adanya perampasan Roma oelh pasukan Alarik. Kejadian ini memiliki konsekuensi yang besar. Banyak orang Roma menganggap bahwa perampasan itu terjadi karena ketidak patuhan orang-orang Roma kepada Dewa-dewa lama dan penerimaan mereka terhadap agama Kristen. Mereka juga ragu apakah tidak salah pilih dengan agama Kristen. Karena banyak yang meilih agama Kristen kemudian melakukan praktek kafir, sebagian lain menjadi orang yang ragu karena merasa Tuhan yang mereka semabah tidak mempunyai kekuatan atas alam semsta ini. Untuk menjawab masalah itu Augustinus menulis The City of God. Buku itu berisi tidak hanya penolakan atas keraguan yang tersebar ketika itu, tetapi juga mengetengahkan suatu sejarah filsafat yang sistematis yang menarik perhatian orang-orang pada Abad Keduapuluh sekarang.
Augustinus tidak mempercayai bahwa sejarah adalah suatu siklus sejarah lebih dari itu; ia merupakan kejadian yang diatur oleh Tuhan. Jadi sebenarnya sejarah juga mempunyai suatu permulaan dan suatu akhir. Permualaannya adalah saat kejatuhan manusia, dan akhirnya adalah kemenangan Tuhan mengatasi kejahatan. Filsafat sejarah seperti ini adalah Dilsafat Sejarah dibimbing oleh Toelogi. Sejarah tidak dapat dijelaskan dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, sejarah dapat dipahami melaluihukum-hukum Tuhan.
Buku The City of God dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama yaitujilid 1-10 membicarakan tanggungjawab Kristen terhadap perpecahan Romawi, sifat-sifat imperialistis, tidak pernahnya Romawi memperhatikan masyarakat taklukannya. Bagian kedua yaitu jilid 11-12 membicarakan asal-usul manusia, dunia Tyhan dan dunia Setan.
Mengenai siksa neraka Augustinus mengatakan bahwa ia bersifat kekal. Origen berpendapat bahwa orang, bagaimanapun jeleknya, tidak akan kekal dineraka, Augustinus menolak pendapat ini. Kalau pendapat Origen benar, mengapa tidak berlaku bagi Setan? Demikian kata Augustinus.
2. Anselmus (1033-1109)
Dalam membicarakan Filsafat Abad Pertengahan St. Anselmus tidak dapat dilewatkan begitu saja. Tokoh inilah yang mengeluarkan Credo Ut Intelligam yang dapat dianggap merupakan cirri utama Filsafat pada Abad Pertengahan. Ia berasal dari Bangsawan di Aosta, Italia. Seluruh kehidupannya penuhi oleh kepatuhannya kepada Gereja. Tahun 1093 ia menjadi Uskup Agung Canterbury. Dalam dirinya mengalir arus Mistisime, dan iman merupakan masalah utama baginya. Ada tiga karyanya yaitu Monologium yang membicarakan keadaan Tuhan, Proslogium yang berisi tentang dalil-dalil adanya Tuhan, dan Cur Deus Homo yang berisi ajarannya tentang tobat dan petunjuk mengenai penyelamatan melalui Kristus.
Credo Ut Intelligam menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman daripada akal. Arti ungkapan itu adalah Percaya baru mengerti; secara lebih sederhana percayalah telebih dahulu supaya mengerti. Ia mengatakan bahwa wahyu diterima terlebih dahulu sebelum kita mulai berfikir. Jadi akal hanyalah sebagai pembantu wahyu. Pengaruh Plato besar terhadap pemikirannya.
Ia berpendapat semua makhluk memiliki sejumlah kebaikan itu menunjukkan adanya kebaikan Mahatinggi yang disana semua makhluk berpartisipasi. Tuhan itu kebesarannya tidak terpikirkan (kebesarannya Mahabesar). Itu tidak mungkin hanya ada dalam pikiran. Ia juga ada dalam kenyataan (jadi benar-benar diluar pikiran). Tuhan Mahabesar ada dalam pikiran dan ada juga diluar pikiran. Secara kasar argument ini mengajarkan bahwa apa yang dipikirkan, berarti objek ini benar-benar ada tidak mungkin ada sesuatu yang hanya ada didalam pikiran, tetapi diluar pikiran objek itu tidak ada.
Tentang penyelamatan, ajarannya sama dengan Filsuf Abad Pertengahan lainnya:manusia celaka karena jatuhnya Adam, jatuhnya Adam memang karena dikehendaki oleh Tuhan, penyelamatan hanya diperoleh melalui Kristus.
3. Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Ia lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dari keluarga Bangsawan baik Bapakanya maupun Ibunya. Melalui Gurunya, Albertinus Magnus, Aquinas belajar tentang alam, ia berfilsafat lebih empiris daripada orang-orang yang diikutinya. Dikatakan demikian karena ia lebih banyak menggunakan observasi terhadap alam dalam menopang argument-argumennya. Sekalipun demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa Aquinas menganggap bahwa penjelasan Naturalis lebih tinggi dari pada atau setingkat dengan penjelasan Metafisika. Dalam hal Kosmologi ia masih menganut Hipotesis Geosentris.[7]
Dalam seluruh teorinya mengenai pengetahuan, Aquinas dibimbing oleh pandangannya bahwa pikir (reson)dan iman adalah tidak bertentangan. Akan tetapi, dimana batas kedua-duanya? Menurut pendapatnya, semua objek yang tidak dapat diindera tidak akan dapat diketahui secara pasti oleh akal. Oleh karena itu, kebenaran ajaran Tuhan tidak mungkin dapat diketahui dan diukur dengan akal. Kebenaran ajaran Tuhan diterima dengan iman. Sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal adalah objek iman. Pengetahuan yang diterima atas dasar iman tidaklah lebih rendah daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Paling tidak, kebenaran yang diterima oleh akal tidak akan bertentangan dengan ajaran wahyu.
Selanjutnya Aquinas mengajarkan seharusnya kita menyeimbangkan akal dan iman, akal membantu membangun dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu tidak selalu dapat dilakukan karena kanl terbatas. Akal tidak dapat memberikan penjelasan tentang kehidupan kembali (resurrection) dan penebusan dosa. Akal juga tidak mampu membuktikan kenyataan esensisal tentang keimanan Kristen. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana telah disebutkan dalam firman-firman Tuhan.
Berdasarkan uraian itu kita dapat mengetahui adanya dua jalur pengetahuan dalam filsafat Aquinas. Jalur itu ialah jalur akal yang dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan. Dan yang kedua adalah jalur Tuhan ialah jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung oleh akal.
Aquinas membagi pengetahuan menjadi tiga bagian pengetahua Fisika, Matematika, dan Metafisika. Dari yang tiga Metafisika inilah yang mendapat banyak perhatian darinya. Menurut pendapatnya dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi. Sehunbungan dengan teorinya diatas maka didalam filsafat Aquinas filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat penggunaan akal. Filsafat ditentukan oelh penjelasan sistematis akliah, sedangkan agama ditentukan oleh keimanan. Sekalipun demikian, perbedaan itu tidak terlihat begitu jelas karena pengetahuan adalah gabungan dari kedua-duanya. Agama dapat pula dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah agama natural yang dibentangkan diatas akal, dan yang kedua adalah agama wahyu yang dibentangkan diatas iman.
Didalam doktrinnya tentang pengetahuan Aquinas adalah realis Moderat. Ia tidak sependapat dengan Plato yang mengajarkan bahwa alam semesta ini menpunyai eksistensi yang objektif. Ia mengajarkan bahwa alam semesta ini berada dalam tiga cara:pertama sebagai sebab-sebab didalam pemikiran Tuhan; kedua sebagai idea dalam pemikiran manusia; dan ketiga sebagai esensi sesuatu. Dapat dicatat disini bahwa Aquinas mencoba mennjebatani dua ekstrimitas. Ekstrimitas Nominalisme dan Ekstriminitas Realisme. Nominalisme adalah suatu ajaran dalam Filsafat Skolastik yang menyatakan bahwa tidak ada eksistensi bastrka yang sungguh-sungguh objektif; yang ada hanyalah kata-kata dan nama-nama; yang benar-benart real adalah fisik yang particular ini saja. Realisme adalah suatu ajaran dalam filsafa tyang mengatakan bahwa realitas Universal abstrak sama dengan atau lebih tinggi dari realitas.
Aquinas melakukan harmonisasi antara kedua ekstrem itu cara memperhatikan bahwa alam semesta mempunyai berbagai pengertian bila diterapkan pada Tuhan, manusia, dan alam. Sains menurutnya, berkenaan dengan alam jenis ketiga; yaitu alam sebagai esensi. Konsep-konsep sains tidak a priori sebab manusia dilahirkan tidak membawa idea-idea immaterial. Menurut pendapat Aquinas pikiran tidak akan berisi apa-apa apabila tidak menggunakan indera. Proses pengetahuan dimalai dari adanya penginderaan yang memberikan kepada kita presepsi tentang objek didalam alam. Persoalan yang dihadapkan kepada Aquinas adalah bagaiamana presepsi ini diterjemahkan kedalam idea-idea yang dapat dipikirkan. Untuk menyelesaikan masalah ini Aquinas menggunakan istilah intelek aktif yang bertugas mengabstraksikakn unsure-unsur dalam alam semesta lalau menciptakan jenis-jenis yang dapat dipikirkan. Intelek aktif itulah yang memberikan kepada kita keadaan susunan alam semesta. Melalui intelek aktif itu kita dapat memahami prinsip-prinsip pertama yang mengatur semua kenyataan.
Pengalaman menurut Aquinas bukanlah suatu proses yang kacau pengalaman menyatakan prinsip-prinsip universal tentang eksistensi, kualitas-kualitas particular tidaklah terpisah-pisah; mereka mempunyai kualitas esensial dalam keseluruhan. Tugas sainslah untuk mengklasifikasikan dan menguraikan kualitas-kualaitas itu.
Kalau dibandingkan dengan pandangan modern tentang sains, teori Aquinas sangat berbeda. Menurut pendapat sains Modern pencapaian terbaik dalam sains adalah bila ia lebih menjurus kepada objek-objek yang particular. Sains modern tidak memberikan penghargaan yang tinggi kepada masalah-masalah immaterial.Bagian immaterial itu merupakan bagian pembahasan metafisika. Sedangkan pada Aquinas tadi, sains akan semakin tinggi nilainya bila ia semakin universal.
BAB
II
PERIODE ETIK
Periode ini terdiri dari tiga sekolah
filsafat, yaitu Epikuros, Stoa dan Skeptis. Nama sekolah
yang pertama diambil dari kata pembangun sekolah itu sendiri, yaitu Epikuros.
Adapun nama sekolah yang kedua diambil dari kata”stoa” yang berarti
ruang. Sedangkan
nama skeptis diberikan karena mereka kritis terhadap para filosof klasik
sebelumnya. Ajarannya dibangun dari berbagai ajaran lama, kemudian dipilih dan
disatukan.
Untuk lebih
jelasnya, dari ketiga macam sekolah tersebut, pemakalah akan merincinya
satu-persatu.
A. Epikuros (341 SM)
Epikuros dilahirkan di samos pada tahun 341 SM. Pada tahun 306 ia mulai belajar di Athena, dan di
sinilah ia meninggal pada tahun 270. Filsafat Epikuros diarahkan pada satu
tujuan belaka; memberikan jaminan kebahagiaan kepada manusia. Epikuros berbeda
dengan Aristoteles yang mengutamakan penyelidikan ilmiah, ia hanya
mempergunakan pengetahuan yang diperolehnya dan hasil penyelidikan ilmu yang
sudah ia kenal, sebagai alat untuk membebaskan manusia dari ketakutan
agama. Yaitu rasa takut terhadap dewa-dewa yang ditanam dalam hati manusia oleh
agama Grik lama. Menurut pendapatnya ketakutan kepada agama itulah yang menjadi
penghalang besar untuk memperoleh kesenangan hidup. Dari sini dapat diketahui
bahwa Epikuros adalah penganut paham Atheis.
Epikuros adalah seorang filosof yang menginginkan arah
filsafatnya untuk mencapai kesenangan hidup. Oleh karena itu tidak heran jika
filosof yang satu ini menganut paham atheis. Hal ini semata-mata ia lakukan
untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tanpa ada yang membatasi. Menurutnya
filsafat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu logika, fisika dan etik.
1. Logika. Epikuros
berpendapat bahwa logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria
untuk kebenaran. Norma dan kriteria itu diperoleh dari pemandangan. Semua
yang kita pandang itu adalah benar. Baginya pandangan adalah kriteria yang
setinggi-tingginya untuk mencapai kebenaran. Logikanya tidak menerima kebenaran
sebagai hasil pemikiran. Kebenaran hanya dicapai dengan pemandangan dan
pengalaman.
2. Fisika. Teori
fisika yang ia ciptakan adalah untuk membebaskan manusia dari kepercayaan pada
dewa-dewa. Ia berpendapat bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai
dewa-dewa, melainkan digerakkan oleh hukum-hukum fisika. Segala yang terjadi
disebabkan oleh sebab-sebab kausal dan mekanis. Tidak perlu dewa-dewa itu
diikutsertakan dalam hal peredaran alam ini. Manusia merdeka dan berkuasa
sendiri untuk menentukan nasibnya. Segala fatalisme berdasar kepada kepercayaan
yang keliru. Manusia sesudah mati tidak hidup lagi, dan hidup di dunia ini
terbatas pula lamanya, maka hidup itu adalah barang sementara yang tidak
ternilai harganya.
Oleh
sebab itu, menurutnya hidup adalah untuk mencari kesenangan. Dari pandangan
fisika yang dikemukakan Epikuros, sangat terlihat bahwa ia adalah penganut
paham atheisme. Teori-teori
yang ia ciptakan adalah untuk menihilkan peran Tuhan di dunia ini.
3. Etik. Ajaran
etik epikuros tidak terlepas dari teori fisika yang ia ciptakan. Pokok ajaran
etiknya adalah mencari kesenangan hidup. Kesenangan hidup ialah barang yang
paling tinggi nilainya. Kesenangan hidup berarti kesenangan badaniah dan
rohaniah. Badan terasa enak, jiwa terasa tentram. Yang paling penting dan mulia
menurutnya ialah kesenangan jiwa.
Dari ketiga ajaran Epikuros, jika diaktualisasikan ke
dalam agama Islam maka akibatnya bisa fatal sekali. Seorang muslim akan menjadi
atheis ketika mengikuti ajaran Epikuros ini. Di sinilah bahaya filsafat jika
kita telan mentah-mentah tanpa ada proses penyaringan terlebih dahulu. Apalagi
jika tidak dilandasi dengan akidah yang kuat.
B. Stoa (340 SM)
Pendirinya
adalah Zeno dari Kition. Ia
dilahirkan di Kition pada tahun 340 sebelum Masehi. Awalnya ia hanyalah seorang
saudagar yang suka berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah di tengah laut.
Dirinya selamat, tapi hartanya habis tenggelam. Karena itu entah mengapa ia
berhenti berniaga dan tiba-tiba belajar filsafat. Ia belajar
kepada Kynia dan Megaria, dan akhirnya belajar pada academia di
bawah pimpinan Xenokrates, murid Plato yang terkenal.
Setelah
keluar ia mendirikan sekolah sendiri yang disebut Stoa. Nama itu diambil dari
ruangan sekolahnya yang penuh ukiran Ruang, dalam bahasa Grik ialah
“Stoa”. Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa pokok ajaran etik Stoa adalah bagaimana manusia
hidup selaras dengan keselarasan dunia. Sehingga menurut mereka kebajikan ialah
akal budi yang lurus, yaitu akal budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Pada
akhirnya akan mencapai citra idaman seorang bijaksana; hidup sesuai dengan
alam.
Ajarannya
tidak jauh beda dengan Epikuros yang terdiri dari tiga bagian, yaitu logika,
fisika dan etik.
1. Logika : Menurut kaum Stoa, logika maksudnya memperoleh kriteria
tentang kebenaran. Dalam hal ini, mereka memiliki kesamaan dengan Epikuros. Apa
yang dipikirkan tak lain dari yang telah diketahui pemandangan. Buah pikiran
benar, apabila pemandangan itu kena, yaitu memaksa kita membenarkannya.
Pemandangan yang benar ialah suatu pemandangan yang menggambarkan barang yang
dipandang dengan terang dan tajam. Sehingga orang yang memandang itu terpaksa
membanarkan dan menerima isinya.
Apabila kita
memandang sesuatu barang, gambarannya tinggal dalam otak kita sebagai ingatan.
Jumlah ingatan yang banyak menjadi pengalaman. Kaum Stoa bertentangan
pendapatnya dengan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles pengertian
itu mempunyai realita, ada pada dasarnya. Ingat misalnya ajaran Plato tentang
idea. Pengertian umum, seperti perkumpulan, kampung, binatang dan lain
sebagainya adalah suatu realita, benar adanya. Sedangkan menurut kaum Stoa,
pengetian umum itu tidak ada realitanya, semuanya itu adalah cetakan pikiran
yang subjektif untuk mudah menggolongkan barang-barang yang nyata. Hanya barang-barang yang kelihatan yang mempunyai
realita, nyata adanya. Seperti orang laki-laki, orang perempuan, kuda putih,
kucing hitam adalah suatu realita. Pendapat kaum Stoa ini disebut dalam
filsafat pendapat nominalisme, sebagai lawan dari realisme.
2. Fisika : kaum Stoa tidak saja memberi pelajaran tentang
alam, tetapi juga meliputi teologi. Zeno sebagai
pendiri Stoa, menyamakan Tuhan dengan dasar pembangun. Dasar pembangun ialah
api yang membangun sebagai satu bagian daripada alam. Tuhan itu menyebar ke
seluruh dunia sebagai nyawa, seperti api yang membangun menurut sesuatu tujuan.
Semua yang ada tak lain dari api dunia itu atau Tuhan dalam berbagai macam
bentuk.
Menurut
mereka dunia ini akan kiamat dan terjadi lagi berganti-ganti Pada akhirnya
Tuhan menarik semuanya kembali padanya, oleh karena itu pada kebakaran dunia
yang hebat, itu semuanya menjadi api. Dari api Tuhan itu, terjadi kembali dunia
baru yang sampai kepada bagiannya yang sekecil-kecilnya serupa dengan dunia
yang kiamat dahulu
3. Etik. Inti dari filsafat Stoa adalah etiknya. Maksud
etiknya itu ialah mencari dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup yang
tepat. Kemudian malaksanakan dasar-dasar itu dalam penghidupan. Pelaksanaan
tepat dari dasar-dasar itu ialah jalan untuk mengatasi segala kesulitan dan
memperoleh kesenangan dalam penghidupan. Kaum Stoa juga berpendapat bahwa
tujuan hidup yang tertinggi adalah memperoleh “harta yang terbesar nilainya”,
yaitu kesenangan hidup. Kemerdekaan moril seseorang adalah dasar segala
etik pada kaum Stoa.
C. Skeptis
Skeptis artinya ragu-ragu.
Mereka ragu-ragu untuk menerima ajaran-ajaran yang dari ahli-ahli filsafat
sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa skeptisisme sebagai suatu filsafat
bukanlah sekedar keragu-raguan, melaiankan sesuatu yang bsa disebut keraguan
dogmatis. Seorang ilmuwan mengatakan, “saya kira masalahnya begini dan begitu,
tetapi saya tidak yakin.” Seorang yang memiliki keingintahuan intelektual
berujar, “saya tidak tahu bagaimana masalahnya, tetapi saya akan berusaha
mengetahuinya.” Seorang penganut Skeptis filosofis mengatakan, “tak seorang pun
yang mengetahui, dan tak seorang pun yang akan bisa mengetahui.” Ini merupakan
unsur dogmatisme yang menyebabkan sistem tersebut lemah. Kaum Skeptis, tentu
saja, membantah bahwa mereka secara dogmatis menekankan mustahilnya
pengetahuan, namun bantahan mereka tidak meyakinkan.
Di masa Helen-Romawi ada dua
sekolah Skeptis. Kedua-duanya sama pendiriannya, keduanya ragu-ragu tentang
ajaran kaum klasik yang menyatakan bahwa kebenaran dapat diketahui. Tetapi
dalam hal apa yang dimaksud dengan sikap ragu-ragu itu, kedua sekolah itu
berbeda pahamnya. Sekolah yang
satu disebutkaum skeptis aliran Pyrrhon dari Elis. Pyrrhon lahir pada tahun 360 SM dan meninggal pada tahun
270 SM. Sekolah yang kedua disebut Skeptis Akademia, karena aliran ini
lahir dalam Akademia yang didirikan oleh Plato. Aliran ini lahir kira-kira
seumur orang sesudah Plato meninggal. Untuk lebih lengkapnya, mari kita tinjau
satu-persatu.
1. Skeptis Pyrrhon
Skeptisisme
sebagai ajaran dari berbagai madzhab, dikemukakan pertama kali oleh Pyrrhon,
yang pernah menjadi seradu dalam pasukan Alexandros, dan pernah bertugas bersama
pasukan itu sampai ke India. Sampai di India ia
mempelajari mistik India. Tidak begitu mendalam, tatapi cukup baginya
untuk menentukan jalan pikirannya. Tatkala ia
kembali ke Elis, kota tempat ia lahir, didirikannya sekolah filsafat. Muridnya
cukup banyak. Ia sendiri tidak pernah menuliskan filsafatnya. Tatapi ajarannya
itu diketahui orang dari uraian-uraian para pengikutnya.
Menurut
Pyrrhon, kebenaran tidak dapat diduga. Kita harus sangsi terhadap sesuatu
yang dikatakan orang benar. Apa yang orang terima sebagai kebenaran, hanya
berdasarkan kepada kebiasaan yang diterima dari orang ke orang. Rupanya
saja “benar”. Karena itu orang harus sangsi terhadap hasil pikiran yang disebut
benar. Pikiran itu sendiri saling bertentangan. Hal ini cukup ternyata dalam
pengalaman.
Dari dua
ucapan yang bertentangan tentang sesuatu, mestilah satu yang benar dan yang
lainnya salah. Dan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah
dalam pertentangan pendapat yang begitu banyak, perlulah ada suatu kriteria
tentang kebenaran. Kriteria itulah yang tidak ada. Oleh karena itu
kebenaran tidak dapat diketahui. Maka dari itu, menurut Pyrrhon, seorang cerdik
pandai hendaklah menguasai diri jangan memberi keputusan. Menjauhkan diri dari
sikap memutus adalah jalanyang ditunjukkan Pyrrhon untuk mencapai kesenangan
hidup.
2.
Skeptis Akademia
Meskipun sekolah ini didirikan
oleh Plato, tetapi generasinya tidak lagi mengusung ajaran-ajaran
Plato. Para pengikut Plato, terutama di bawah
pengaruh Arkesilaos lebih mengutamakan ajaran Plato yang bersifat
negatif. Ajaran Arkesilaos berpangkal kepada ajaran Plato yang mengatakan bahwa
dunia yang kelihatan ini adalah gambaran saja dari yang asli, bahwa pengetahuan
yang didapat dari penglihatan dan pemandangan adalah bayangan pengetahuan, bukan
gambaran dari pengetahuan yang sebenarnya. Pengetahuan yang sebenarnya tidak
tercapai oleh manusia.
Arkesilaos dan para pengikutnya
tidak sejauh kaum sketis Pyrrhon menolak kemungkinan mencapai kebenaran. Mereka
terutama menolak dogma-dogma yang dikemukakan oleh kaum Epikuros dan kaum Stoa,
bahwa segala pengetahuan berdasarkan pemandangan. Mereka tidak menolak sama
sekali kemungkinan untuk mencapai pengetahuan. Norma pengetahuan itu ialah
“kemungkinan”.
Kaum Skeptis aliran Arkesilaos
berpendapat bahwa cita-cita orang bijaksana ialah bebas dari berbuat salah.
Kaum Epikuros dan Stoa mengatakan bahwa memperoleh kebenaran yang
sungguh-sungguh dengan membentuk dalam pikiran hasil pandangan. Menurut
Arkesilaos yang seperti itu tidak mungkin. Kriteria daripada kebenaran
tidak dapat diperoleh dari pikiran manusia.Sedangkan pikiran berdasarkan kepada
bayangan saja, barang-barang yang dipikirkan itu pada dasarnya tidak dapat
dikenal.
Ketika Arkesilaos talah
meninggal, ajaran itu dihidupkan lagi oleh Karneades. Ia mengatakan
bahwa kriteria bagi kebenaran tidak ada. Pemandangan-pemandangan tak pernah dapat membedakan
dengan shahih pandangan yang benar dan pandangan salah. Tetapi sekalipun
kebenaran yang sebenarnya tidak dapat diketahui dan pengetahuan yang shahih tidak
dapat dicapai, orang tak perlu bersikap menolak terus-menerus dan menjauhkan
diri dari mempertimbangkan sesuatunya. Sebagai pegangan dalam hidup sehari-hari
dikemukakan oleh Karneades tiga tingkat “kemungkinan.” Pertama,
pemandangan itu mungkin benar. Kedua, kemungkinan itu tidak dapat dibantah.
Ketiga, kemungkinan itu tidak dapat dibantah dan telah ditinjau dari segala
sudut.
BAB II
PRIODE RELIGI
Pada masa etik, agama itu
dianggap sebagai sesuatu belenggu yang menanam rasa takut dalam hati manusia.
Karena itu agama dipandang sebagai suatu penghalang untuk memperoleh kesenangan
hidup. Dan tujuan filsafat menurut Epikuros dan Stoa harus merintis jalan ke
arah mencapai kesenangan hidup.
Didorong oleh perasaan dan
keadaan bangsa Yunani dan bangsa lainnya yang senantiasa merasa tertekan di
bawah kekuasaan kerajaan Roma, maka ajaran Etik tidak dapat memberikan jalan
keluar. Kemudian perasaan agamalah yang akhirnya muncul sesudah beberapa abad
terpendam dapat mengobati jiwa yang terluka. Mulai dari sinilah pandangan
filsafat berbelok arah, dari otak turun ke hati.
Keinginan
untuk mengabdi kepada Tuhan hidup kembali. Perasaan menyerah kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa memberikan kesenangan rohani. Perasaan bimbang hilang, cinta terikat
kepada Tuhan Yang Maha Tinggi.soal rasio tidal ada lagi, soal irasionalisme-lah
yang muncul kemudian. Dengan sendirinya, fakultas filsafat berkembang ke
jurusan mistik. Perasaan mistik tidak dapat dipupuk dengan pikiran yang
rasional, melainkan dengan jiwa yang murni. Pada periode ini, ada tiga aliran
yang berperan, yaitu aliran Neo-Pythagoras, aliran Philon, aliran Plotinus atau
Neo-Platonisme. Tetapi di sini kami hanya menjelaskan dua aliran saja, yaitu
Neo Pythagoras dan Philon, karena aliran Neo Platonisme akan dijelaskan oleh
pemakalah selanjutnya.
A. Aliran
Neo Pythagoras
Dinamakan Neo Pyithagoras karena
ia berpangkal pada ajaran Pyithagoras yang mendidik kebatinan dengan
belajar menyucikan roh. Yang mengajarkannya ialah mula-mula ialah Moderatus dan
Gades, yang hidup dalam abad pertama tahun masehi. Ajaran itu kemudian
diteruskan oleh Nicomachos dari Gerasa.
Untuk mendidik perasaan cinta dan
mengabdi kepada Tuhan, orang harus menghidupkan dalam perasaannya jarak yang
jauh antara Tuhan dan manusia. Makin besar jarak itu makin besar cinta kepada
Tuhan. Dalam mistik ini, tajam sekali dikemukakan perbedaan antara Tuhan dan
manusia, Tuhan dan barang. Bedanya Tuhan dan manusia digambarkan dalam
mistik neo Pythagoras sebagai perbedaan antara yang sebersih-bersihnya dengan
yang bernoda. Yang sebersih-bersihnya adalah Tuhan, yang bernoda ialah manusia.
Menurut mereka, Tuhan sendiri
tidak membuat bumi ini. sebab apabila Tuhan membuat bumi ini , berarti ia
mempergunakan barang yang bernoda sebagai bahannya. Dunia ini dibuat oleh
pembantunya, yaitu Demiourgos. Kaum ini percaya bahwa jiwa ini akan hidup
selama-lamanya dan pindah-pindah dari angkatan makhluk turun temurun.
Kepercayaan inilah yang menjadi pangkal ajaran mereka tentang inkarnasi.
B. Philon
Alexandreia
Alexandria terletak di Mesir.
Di sana bertemu antara filsafat Yunani yang bersifat intelektualis
dan rasionalis, dan pandangan agama kaum Yahudi yang banyak mengandung mistik.
Pencetusnya adalah Philon. Ia hidup dari 25 SM, sampai 45 M. ia mencapai umur
70 tahun. Ia adalah seorang pendeta Yahudi, karenanya filsafat yang
dipelajarinya terpengaruh oleh pandangan agama.
Yang menjadi pokok pandangan
filsafatnya ialah hubungan manusia dengan Tuhan. Baginya Tuhan itu Maha Tinggi
tempatnya. Tuhan hanya dapat diketahui oleh kata-kata-Nya yang terdapat dalam
kitab suci, dari alam dan dari sejarah. Tuhan sendiri tidak dapat diketahui
oleh manusia dengan panca inderanya.
Karena Tuhan itu begitu tinggi kedudukannya, perlulah ada
perantara yang menghubungkan Tuhan dengan alam. Makhluk terutama yang terdekat
dengan Tuhan ialah“Logos”. Logos itu ialah sumber dari segala
cita-cita yang sebagai pikiran Tuhan. Logos juga beredar dalam dunia yang nyata
sebagai penjelmaan dari akal Tuhan. Kewajiban manusia yang pertama, menurut
mereka, ialah mengasuh jiwa mendekati Tuhan. Kesenangan hidup sebesar-besarnya
adalah mengabdi kepada Tuhan. Tujuan tertinggi ialah bersatu dengan Tuhan.
KESIMPULAN
Pola fikir
filsafat helenisme Yunani pasca Aristoteles. Diantaranya : Epikuros, Stoa, dan Skeptis dari periode
etik. Kemudian ada
juga Neo Pythagoras, Philon dan Plotinus dari periode religi. Berikut
penjelasannya secara ringkas.
Epikuros: Ia
adalah filosof yang memuja kesenangan hidup, ia menafikan dan menihilkan peran
Tuhan di dunia. Menurutnya Tuhan hanya menjadi penghalang untuk menikmati
kesenangan hidup di dunia. Karena itu, Epikuros adalah salah satu filosof yang
beraliran atheis.
Stoa: Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan
moral manusia. Kriterianya tentang kebenaran relatif sama dengan Epikuros yang
mengatakan bahwa pemandangan adalah kriteria setinggi-tingginya untuk mencapai
kebenaran.
Skeptis: Mereka adalah madzhab filsafat yang ragu-ragu
terhadap ajaran-ajaran klasik. Menurut mereka, kebenaran tidak dapat diduga.
Dan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah dalam pertentangan
pendapat yang begitu banyak, perlulah ada suatu kriteria tentang
kebenaran. Kriteria itulah yang tidak ada.
Aliran Neo Phytagoras: Ajarannya
berpangkal pada Pythagoras yang mendidik kebatinan dengan belajar menyucikan
roh. Mereka juga meyakini bahwa jiwa ini akan hidup selama-lamanya dan
pindah-pindah dari angkatan makhluk turun temurun. Kepercayaan inilah yang
disebut dengan rinkarnasi.
Aliran Philon Alexandreia: Ia
adalah seorang pendeta Yahudi, karenanya filsafat yang dipelajarinya
terpengaruh oleh pandangan agama. Yang menjadi pokok pandangan filsafatnya
ialah hubungan manusia dengan Tuhan.
Dalam Konteks Filsafat : Filsafat
bergerak semakin dekat kearah ‘keselamatan’ dan ketenangan jiwa. Filsafat juga harus membebaskan manusia dari pesimisme
dan rasa takut akan kematian. Dengan
demikian batasan antara agama dan filsafat lambat laun hilang. Secara
umum, filsafat Helenisme tidak begitu orisinal. Tidak ada Plato baru atau
Aristoteles baru yang muncul di panggung. Sebaliknya, ketiga filsuf besar itu
menjadi sumber ilham bagi sejumlah aliran filsafat.
Dalam
Konteks Ilmu Pengetahuan : Ilmu
pengetahuan Helenistik pun terpengaruh oleh campuran pengetahuan dari berbagai
kebudayaan. Kota Alexandria memainkan peranan penting di sini sebagai tempat
pertemuan antara Timur dan Barat. Sementara Athena tetap merupakan pusat
filsafat yang masih menjalankan ajaran-ajaran filsafat Plato dan Aristoteles,
Alexandaria menjadi pusat ilmu pengetahuan. Dengan perpustakaannya yang sangat
besar, kota itu menjadi pusat matematika, astronomi, biologi, dan ilmu
pengobatan.
Dalam
Konteks Agama: Ciri
umum pembentukan agama baru sepanjang periode Helenisme adalah muatan ajaran
mengenai bagaimana umat manusia dapat terlepas dari kematian. Ajaran ini sering
kali merupakan rahasia. Dengan menerima ajaran dan menjalankan ritual-ritual
tertentu, orang yang percaya dapat mengharapkan keabadian jiwa dan kehidupan
yang kekal. Suatu wawasan menyangkut hakikat sejati alam semesta dapat menjadi
sama pentingnya dengan upacara agama untuk mendapatkan keselamatan.
PENUTUP
Alhamdulillahirobbil’alamiin,
kami penyusun panjatkan kehadirat Alloh SWT. yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa ada
halangan yang berarti.
Penyusun ucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini,
Penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan. Itu semua dikarenakan kurangnya pengetahuan dan
pengalaman penyusun. Oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun.
Dan akhirnya, kepada Alloh
jualah penyusun memohon, semoga makalah ini bermanfaat
bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Amin
yaa robbal’alamiin.
Daftar Pustaka
Mohammad
Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1986, cet. 3.
Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat; dan kaitannya dengan kondisi
sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, cet. 2.
Bernard
Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Penerjemah: Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, cet. 1.
Abd. Rachman
Assegaf Dr., Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta: Gama
Media,2005, Cet. 1
Ahmad
Syadali, H. Drs. M.A., Filsafat Umum, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2004, cet. 2.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta
: Surya Multi Grafika, 2005
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung
: Pustaka setia, 2009
Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta
: Bulan Bintang, 1973
Panut Panuju, Kuliah Filsafat Islam, Lampung
: Gunung Pesagi, 1994
Richardmuksin's Blog Just
another WordPress.com weblog